Monday, July 11, 2011

Ibu....

Minggu, 09.18 WITA
Handphoneku berbunyi, sms, ada pesan dari Ibu dalam bahasa jawa, aku baca

"Aku wingi nang wisata kuliner, aduh uenak uenak, sing antri puooll. Aku tuku panganan sehat lontong balap, bareng ketog kerang aku maen, trus Dian tuku rujak petis tak maem pisan. Saiki aku loro, motoku aboh, hipersesitifku kambuh. Gpp wis kadung"

Kurang lebih begini artinya dalam bahasa Indonesia

"Kemarin aku pergi ke wisata kuliner, aduh enak enak, yang antri banyak. Aku beli makanan sehat: lontong balap. Kemudian aku lihat ada kerang, aku makan. Trus Dian (kakakku) beli rujak petis, aku ikut makan juga. Sekarang aku sakit, mataku bengkak, hypersensitifku kambuh. Gpp, sudah terlanjur"

Pagi di kantor aku baca dan aku langsung tersenyum dan membayangkan Ibu yang seperti kembali menjadi anak anak, lengkap dengan sisi impulsifnya. Bayangan senyum berubah menjadi sedih ketika ingatan terlempar ke setahun yang lalu ketika Ibu divonis dengan penyakit Diabetes Melitus yang sudah masuk ke stadium harus suntik insulin seumur hidupnya.

Masih lekat di ingatan melihat Ibu yang awalnya menangis ketika tau bahwa dia mengidap Diabetes Melitus, yang membuatnya kehilangan 7 kilo dalam 2 minggu karena terkikis perasaannya.
Masih lekat di ingatan melihat Ibu sambil gemetar melakukan suntikan insulin pada badannya sendiri.
Masih lekat di ingatan dengan pelukannya ketika aku sampai di rumah setelah perantauan yang kemudian diikuti dengan sebuah senyuman

Ibuku sakit, dan bertambah sakit karena hatinya impulsif melihat makanan. Aku menyalahkan? Iya pada awalnya. Iya lebih karena hanya rasa menyalahkan yang aku punya untuk menjaga ibuku agar kualitas hidupnya terpelihara

Sekarang aku tidak lagi menyalahkan. Ibuku hanya figur orang tua yang terkikis perasaannya karena asam garam kehidupan yang mulai berbalik melawan dirinya. Menggerogoti badannya dengan penyakit.
Aku sekarang hanya mendampingi, mengingatkan tanpa menyalahkan

Bahkan ketika aku datang pada cutiku yang terakhir, tidak satupun Ibuku mengeluh karena sakit. Bibirnya hanya mengucap tanya mengenai kabar anaknya. Telinganya hanya ingin mendengar buah kisah perantauan anaknya.

Ibu....