Saturday, September 14, 2013

Gw bisa masak donk!

Ga kerasa kalo udah hampir setahun ga ngeblog.
Bukannya ga terjadi apa apa dalam hidup gw, tapi kadang terlalu banyak kejadian yang ingin gw tulis sampe akhirnya ga nulis sama sekali saking bingungnya.

And then I decided setelah menimbang dan melihat blog gw hibernasi lama dan itu cukup disayangkan, maka gw berpikir buat ga mikir ketika mau nulis. Karena semakin banyak mikir, semakin ribet milih kata, semakin ribet nyusun kalimat, dan akhirnya nutup laptop trus lupa sampe setahun lagi.

Anyway, sekedar mengingatkan ke pembaca pembaca blog gw #kalau masih ada
Bahwa gw masih the same old person with the same acts, the same attitudes, and the same in everything but a year older #sigh

Dan buat meng-update pembaca gw #juga kalo masih ada, soal kemampuan gw yang baru adalah, jreng ... jreng ... jreng ... gw bisa masak donk!
Dan ngerasa cukup jago dengan keahlian gw yang satu itu. Mau bukti? 

Rendang Padang ala gw 

Itu gw masak minggu lalu pas nyokap lagi ribet banget nyiapin masakan buat anak nya tapi bingung karena disaat yang bersamaan ada kegiatan di kampung. Jadilah gw memberanikan diri browsing resep, trus ke pasar tradisional buat belanja, dan masaklah gw

Tantangan tersebesarnya cuma 1, gw harus nyiapin otot lengan gw buat trus menerus ngaduk 1 liter santan s.d menjadi kering seperti kayak di gambar. dan itu sekitar 4 jam lamanya.
Tapi jerih payah terbayar kok, karena semua orang bilang enak #sujud syukur 

Dan kemaren, bener bener hari jumat kemaren, gw laper dan bosan. Dan jadilah masakan kedua gw 
Dendeng Lambok Padang ala gw 
Dan lagi lagi, semua orang bilang enak 
Btw, gw suku Jawa donk yang secara kultur kuliner doyan manis, tapi gw ternyata bisa juga masak masakan padang yang secara kultur masakannya tanpa gula 

STANDING OVATION donk buat gw!

Monday, August 20, 2012

Melodrama Rasa

Hubungan dua manusia itu seperti ketika saya melakukan perjalanan dari satu kota ke kota lain, dimana saya tidak hanya menemukan nuansa, tapi juga romansa, tidak hanya menemukan kedamaian, tapi juga kepenatan ...

Hubungan dua manusia itu harus disadari akan selalu beriringan dengan riak dan gelombang ... serta harapan ...

Hubungan dua manusia itu sejatinya memiliki masa, dengan ending yang bisa diamini bersama ...

Bahwa ketika iringan dua kepala yang mengatasnamakan hati ditempa oleh riak dan gelombang, itu adalah bagian dari kepenatan untuk menemukan tujuan.

Bahwa ketika tujuan menjadi kabur oleh jarak dan prasangka, maka salah satu kepala harus mendekat untuk memfokuskan jalan dan rencana

Tetapi kepala untuk hati saya memilih tidak mendekat saat ini ...
Saya memilih untuk mengambil jarak dan nafas sejenak dalam ruang yang dewasa

Dewasa yang tidak mudah menyerah
Dewasa yang menyimpan harapan
Dewasa sebagai hasil ajar dan pengalaman

Saya berharap dewasa untuk pribadi dan hubungan dua manusia
Itu mengapa jangan mengartikan saya menyerah ...

InsyaAllah hubungan dua manusia ini akan sampai pada masa dimana endingnya dapat kami amini bersama

Ini adalah harapan melalui rangkaian kata membentuk cerita, sebuah melodrama ... belum menjadi rasa yang nyata

Sunday, October 30, 2011

Bell's Palsy

Hari itu Jum'at, tgl 21 Agustus 2011, sudah hari ke-4 kepalaku sebelah kanan berdenyut tanpa menyisakan ruang untuk bernafas. Aku kemudian bangun, mengambil handuk, dan mandi.
Air shower langsung aku arahkan ke wajah, dingin seperti biasa tapi entah kenapa seketika meninggalkan jejak mati rasa pada muka. Aku percepat mandiku sambil berpikir bahwa mukaku sedang kram.

Sampai dengan siang, sisi muka sebelah kanan semakin mati rasa, dan aku semakin kesulitan berbicara. Kepala berdenyut dengan rasa yang semakin tidak bersahabat.

Beranjak siang, akhirnya aku menemukan dokter di Instalasi Gawat Darurat Banjarbaru. Bell's Palsy kemudian dilontarkan sebagai diagnosa atas kondisiku.

Aku tidak paham dengan diagnosa itu. Pertama, karena untuk bertanya saja mulutku susah digerakkan. Kedua, karena denyut kepalaku sudah tidak berkompromi dengan situasi tanya jawab.

Jadwal hari Jum'at adalah perjalanan untuk menghadiri workshop dengan lokasi 4 jam dari lokasi kerjaku. Perjalanan berlanjut dengan aku mencoba untuk tidur dan beristirahat dari ketegangan di sekujur kepala sampai leherku yang berujung sia sia.

Sabtu pagi, kelumpuhan syaraf muka dan ketegangan kepala semakin menjadi. Aku diantara bimbang untuk menghadiri pertemuan dengan ketidaksiapanku untuk berbicara ataupun menunjukkan mukaku yang kehilangan simetrinya. Akhirnya dengan keterbatasan gerak pada mulut, aku paksakan menelepon atasanku untuk meminta ijin melakukan perjalanan dari Banjar ke Malang hari itu juga dengan alasan kesehatan dan pengobatan.

Dan hari ini satu minggu sudah aku berada di Malang dengan kelumpuhan syaraf muka dan ketegangan yang sama di kepala. Aku sudah menemui 2 orang spesialis syaraf dan menempuh rangkaian terapi akupuntur dan laser, namun belum menunjukkan kemajuan yang baik.

Semua orang paham, menjadi sakit tidak pernah menyenangkan. Menjadi sakit menghilangkan banyak kebebasan. Menjadi sakit memanusiakan kesombongan.

Cepat sembuh ya BaS!

Friday, October 7, 2011

Perpisahan...

Aku pernah menulis bahwa pilihan untuk memulai dan mengakhiri sebuah hubungan harus diputuskan oleh dua pihak. Tapi buatku sekarang tidak.

Aku pernah menulis bahwa aku menikmati setiap fase hubungan dengan emosi yang bervariasi. Tapi sekarang tidak.

Aku memutuskan untuk berhenti mengusahakan sebuah hubungan.

Aku berhenti dan menelan ludahku sendiri...
Aku mundur menjadi laki laki yang bertanggung jawab atas pilihannya sendiri...
Aku menyerah tanpa keinginan untuk memperbaiki...

Aku menangis untuk sebuah perpisahan dan aku tidak menyukainya. Dadaku sesak menahan sedih. Badanku gemetar menghentikan amarah. Aku mencoba paham, tapi waktu belum memberi jawaban

Aku mendengar bahwa perbedaan itu baik untuk menyatukan, tapi aku menyadari bahwa perbedaan yang bertolak belakang hanya berharap mimpi untuk bisa beriringan.

Aku merasa kita tidak lagi saling mengenal.
Aku lelah dengan argumentasi di setiap pertemuan. Aku kering dengan bosan yang makin berkembang. Sekarang aku paham bahwa logikaku terlalu sederhana untuk menjadi pungguk yang merindukan bulan

Aku merasa makin sendiri, tapi itu pilihan...
Aku merasa gamang pada tujuan, tapi aku yakin ini proses yang berujung baik

Pada Tuhan aku berharap maaf dan aku berharap ikhlas...

Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

Wednesday, August 17, 2011

Ibu Sakit....

Ibuku sakit dan tidak kunjung membaik....

Sudah satu minggu sejak telepon terakhirku untuk menanyakan kabarnya....

Memang malam ini ketika aku meneleponnya, tidak terdengar suara gundah ato gelisah. Hanya suara intens menanyakan kabarku saja.

Padahal setelah jawaban terurai untuk kemudian berganti pertanyaan dariku. Ceritapun meluncur mengenai sakit yang dideritanya.

Sakit yang harusnya sudah membaik kembali menggerogoti karena beban pikiran yang tidak kunjung berkurang

Aku terdiam untuk kemudian menggerutu sendiri
Aku tidak menyukai beban yang bertumpuk dan makin menjadi di makin bertambahnya usia ibuku...

Aku tidak menyukai intervensi atas kebebasan waktu di masa pensiunnya...

Aku tidak menyukai banyaknya variasi emosi yang muncul dan memotong habis semangatnya...

Kenapa di saat Ibuku harus memusatkan perhatian pada rasa syukur atas usianya, masalah silih berganti menginterupsi?

Aku kembali hanya bisa mendengarkan untuk kemudian berdebat dengan pikiranku sendiri...

Apa aku harus pulang? Memberikan sesosok perhatian dalam akumulasi figur seorang anak?

Mengobati mungkin
Tetapi tidak juga akan menyelesaikan apapun aku pikir
Anak juga pasti akan pergi menuju kehidupan pribadinya....


Apa hakku untuk kemudian berkomentar ketika aku tidak lagi memberikan kedekatan fisik?

Aku tidak tahu....
Aku hanya tahu bahwa aku punya hak untuk menyayangi tanpa memaksakan intervensi


Pertanyaan terus bergulir dan mendebat isi kepalaku
Tapi saat ini aku hanya bisa mengajukan do'a untuk kesembuhan, karena Tuhan Maha Mengetahui apa yang terbaik untuk Ibuku

Ibu....
Aku pasti pulang, tapi tidak sekarang


Omong Kosong Soal Hati

Dulu aku menganggap hitungan sains itu bisa mengkuantifikasi hati
Dulu aku pikir hati bisa dirumuskan seperti formula matematika; dijumlahkan, dikali, bahkan dikuadratkan untuk memperbesar angka

Tetapi itu dulu,
Ketika pertama kalinya aku mendapat nilai tiga untuk hatiku....

Semakin mengalir sebuah hubungan, ternyata ada banyak variable yang tidak bisa dikonversi ke dalam angka

Yang jelas, aku kesulitan mengkuantifikasi emosi di hubunganku saat ini

Aku memang tidak lagi tiga,
Aku mungkin terpuruk di angka dua, padahal aku merasa telah menambahkan kuadrat di dalam usaha

Aku mungkin sepuluh,
Karena aku dianggap menyakiti dengan tonase yang lebih tinggi

Saat ini,
Hubungan jarak jauh itu BISA JADI tidak menyehatkan....

BISA JADI itu adalah probabilitas, tapi aku tidak bisa mengerucutkannya menjadi angka untuk sebuah hubungan

Tapi jika dikembalikan ke pilihan, aku adalah salah satu pihak yang sudah memilih untuk melakukan komitmen jarak jauh.

Aku menikmati setiap fase yang terjadi dengan emosi yang bervariasi

Lelah dengan argumentasi
Bosan dengan rasa
Teduh dengan perhatian
Nyaman dengan percakapan
Takut atas kehilangan

Sekali lagi aku merasa aku menikmatinya...

Tetapi jika kemudian tautan hati merasa harus disudahi karena salah satu pihak tidak bisa menikmati emosi, apa yang bisa terjadi?

Pilihan untuk memulai dihasilkan dari penjumlahan atas dua
Pilihan mengakhiri pun harusnya dihasilkan oleh penjumlahan atas dua

Hanya itu logika angka yang bisa aku buat atas hatiku saat ini

Monday, July 11, 2011

Ibu....

Minggu, 09.18 WITA
Handphoneku berbunyi, sms, ada pesan dari Ibu dalam bahasa jawa, aku baca

"Aku wingi nang wisata kuliner, aduh uenak uenak, sing antri puooll. Aku tuku panganan sehat lontong balap, bareng ketog kerang aku maen, trus Dian tuku rujak petis tak maem pisan. Saiki aku loro, motoku aboh, hipersesitifku kambuh. Gpp wis kadung"

Kurang lebih begini artinya dalam bahasa Indonesia

"Kemarin aku pergi ke wisata kuliner, aduh enak enak, yang antri banyak. Aku beli makanan sehat: lontong balap. Kemudian aku lihat ada kerang, aku makan. Trus Dian (kakakku) beli rujak petis, aku ikut makan juga. Sekarang aku sakit, mataku bengkak, hypersensitifku kambuh. Gpp, sudah terlanjur"

Pagi di kantor aku baca dan aku langsung tersenyum dan membayangkan Ibu yang seperti kembali menjadi anak anak, lengkap dengan sisi impulsifnya. Bayangan senyum berubah menjadi sedih ketika ingatan terlempar ke setahun yang lalu ketika Ibu divonis dengan penyakit Diabetes Melitus yang sudah masuk ke stadium harus suntik insulin seumur hidupnya.

Masih lekat di ingatan melihat Ibu yang awalnya menangis ketika tau bahwa dia mengidap Diabetes Melitus, yang membuatnya kehilangan 7 kilo dalam 2 minggu karena terkikis perasaannya.
Masih lekat di ingatan melihat Ibu sambil gemetar melakukan suntikan insulin pada badannya sendiri.
Masih lekat di ingatan dengan pelukannya ketika aku sampai di rumah setelah perantauan yang kemudian diikuti dengan sebuah senyuman

Ibuku sakit, dan bertambah sakit karena hatinya impulsif melihat makanan. Aku menyalahkan? Iya pada awalnya. Iya lebih karena hanya rasa menyalahkan yang aku punya untuk menjaga ibuku agar kualitas hidupnya terpelihara

Sekarang aku tidak lagi menyalahkan. Ibuku hanya figur orang tua yang terkikis perasaannya karena asam garam kehidupan yang mulai berbalik melawan dirinya. Menggerogoti badannya dengan penyakit.
Aku sekarang hanya mendampingi, mengingatkan tanpa menyalahkan

Bahkan ketika aku datang pada cutiku yang terakhir, tidak satupun Ibuku mengeluh karena sakit. Bibirnya hanya mengucap tanya mengenai kabar anaknya. Telinganya hanya ingin mendengar buah kisah perantauan anaknya.

Ibu....