Sunday, October 30, 2011

Bell's Palsy

Hari itu Jum'at, tgl 21 Agustus 2011, sudah hari ke-4 kepalaku sebelah kanan berdenyut tanpa menyisakan ruang untuk bernafas. Aku kemudian bangun, mengambil handuk, dan mandi.
Air shower langsung aku arahkan ke wajah, dingin seperti biasa tapi entah kenapa seketika meninggalkan jejak mati rasa pada muka. Aku percepat mandiku sambil berpikir bahwa mukaku sedang kram.

Sampai dengan siang, sisi muka sebelah kanan semakin mati rasa, dan aku semakin kesulitan berbicara. Kepala berdenyut dengan rasa yang semakin tidak bersahabat.

Beranjak siang, akhirnya aku menemukan dokter di Instalasi Gawat Darurat Banjarbaru. Bell's Palsy kemudian dilontarkan sebagai diagnosa atas kondisiku.

Aku tidak paham dengan diagnosa itu. Pertama, karena untuk bertanya saja mulutku susah digerakkan. Kedua, karena denyut kepalaku sudah tidak berkompromi dengan situasi tanya jawab.

Jadwal hari Jum'at adalah perjalanan untuk menghadiri workshop dengan lokasi 4 jam dari lokasi kerjaku. Perjalanan berlanjut dengan aku mencoba untuk tidur dan beristirahat dari ketegangan di sekujur kepala sampai leherku yang berujung sia sia.

Sabtu pagi, kelumpuhan syaraf muka dan ketegangan kepala semakin menjadi. Aku diantara bimbang untuk menghadiri pertemuan dengan ketidaksiapanku untuk berbicara ataupun menunjukkan mukaku yang kehilangan simetrinya. Akhirnya dengan keterbatasan gerak pada mulut, aku paksakan menelepon atasanku untuk meminta ijin melakukan perjalanan dari Banjar ke Malang hari itu juga dengan alasan kesehatan dan pengobatan.

Dan hari ini satu minggu sudah aku berada di Malang dengan kelumpuhan syaraf muka dan ketegangan yang sama di kepala. Aku sudah menemui 2 orang spesialis syaraf dan menempuh rangkaian terapi akupuntur dan laser, namun belum menunjukkan kemajuan yang baik.

Semua orang paham, menjadi sakit tidak pernah menyenangkan. Menjadi sakit menghilangkan banyak kebebasan. Menjadi sakit memanusiakan kesombongan.

Cepat sembuh ya BaS!

Friday, October 7, 2011

Perpisahan...

Aku pernah menulis bahwa pilihan untuk memulai dan mengakhiri sebuah hubungan harus diputuskan oleh dua pihak. Tapi buatku sekarang tidak.

Aku pernah menulis bahwa aku menikmati setiap fase hubungan dengan emosi yang bervariasi. Tapi sekarang tidak.

Aku memutuskan untuk berhenti mengusahakan sebuah hubungan.

Aku berhenti dan menelan ludahku sendiri...
Aku mundur menjadi laki laki yang bertanggung jawab atas pilihannya sendiri...
Aku menyerah tanpa keinginan untuk memperbaiki...

Aku menangis untuk sebuah perpisahan dan aku tidak menyukainya. Dadaku sesak menahan sedih. Badanku gemetar menghentikan amarah. Aku mencoba paham, tapi waktu belum memberi jawaban

Aku mendengar bahwa perbedaan itu baik untuk menyatukan, tapi aku menyadari bahwa perbedaan yang bertolak belakang hanya berharap mimpi untuk bisa beriringan.

Aku merasa kita tidak lagi saling mengenal.
Aku lelah dengan argumentasi di setiap pertemuan. Aku kering dengan bosan yang makin berkembang. Sekarang aku paham bahwa logikaku terlalu sederhana untuk menjadi pungguk yang merindukan bulan

Aku merasa makin sendiri, tapi itu pilihan...
Aku merasa gamang pada tujuan, tapi aku yakin ini proses yang berujung baik

Pada Tuhan aku berharap maaf dan aku berharap ikhlas...

Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

Wednesday, August 17, 2011

Ibu Sakit....

Ibuku sakit dan tidak kunjung membaik....

Sudah satu minggu sejak telepon terakhirku untuk menanyakan kabarnya....

Memang malam ini ketika aku meneleponnya, tidak terdengar suara gundah ato gelisah. Hanya suara intens menanyakan kabarku saja.

Padahal setelah jawaban terurai untuk kemudian berganti pertanyaan dariku. Ceritapun meluncur mengenai sakit yang dideritanya.

Sakit yang harusnya sudah membaik kembali menggerogoti karena beban pikiran yang tidak kunjung berkurang

Aku terdiam untuk kemudian menggerutu sendiri
Aku tidak menyukai beban yang bertumpuk dan makin menjadi di makin bertambahnya usia ibuku...

Aku tidak menyukai intervensi atas kebebasan waktu di masa pensiunnya...

Aku tidak menyukai banyaknya variasi emosi yang muncul dan memotong habis semangatnya...

Kenapa di saat Ibuku harus memusatkan perhatian pada rasa syukur atas usianya, masalah silih berganti menginterupsi?

Aku kembali hanya bisa mendengarkan untuk kemudian berdebat dengan pikiranku sendiri...

Apa aku harus pulang? Memberikan sesosok perhatian dalam akumulasi figur seorang anak?

Mengobati mungkin
Tetapi tidak juga akan menyelesaikan apapun aku pikir
Anak juga pasti akan pergi menuju kehidupan pribadinya....


Apa hakku untuk kemudian berkomentar ketika aku tidak lagi memberikan kedekatan fisik?

Aku tidak tahu....
Aku hanya tahu bahwa aku punya hak untuk menyayangi tanpa memaksakan intervensi


Pertanyaan terus bergulir dan mendebat isi kepalaku
Tapi saat ini aku hanya bisa mengajukan do'a untuk kesembuhan, karena Tuhan Maha Mengetahui apa yang terbaik untuk Ibuku

Ibu....
Aku pasti pulang, tapi tidak sekarang


Omong Kosong Soal Hati

Dulu aku menganggap hitungan sains itu bisa mengkuantifikasi hati
Dulu aku pikir hati bisa dirumuskan seperti formula matematika; dijumlahkan, dikali, bahkan dikuadratkan untuk memperbesar angka

Tetapi itu dulu,
Ketika pertama kalinya aku mendapat nilai tiga untuk hatiku....

Semakin mengalir sebuah hubungan, ternyata ada banyak variable yang tidak bisa dikonversi ke dalam angka

Yang jelas, aku kesulitan mengkuantifikasi emosi di hubunganku saat ini

Aku memang tidak lagi tiga,
Aku mungkin terpuruk di angka dua, padahal aku merasa telah menambahkan kuadrat di dalam usaha

Aku mungkin sepuluh,
Karena aku dianggap menyakiti dengan tonase yang lebih tinggi

Saat ini,
Hubungan jarak jauh itu BISA JADI tidak menyehatkan....

BISA JADI itu adalah probabilitas, tapi aku tidak bisa mengerucutkannya menjadi angka untuk sebuah hubungan

Tapi jika dikembalikan ke pilihan, aku adalah salah satu pihak yang sudah memilih untuk melakukan komitmen jarak jauh.

Aku menikmati setiap fase yang terjadi dengan emosi yang bervariasi

Lelah dengan argumentasi
Bosan dengan rasa
Teduh dengan perhatian
Nyaman dengan percakapan
Takut atas kehilangan

Sekali lagi aku merasa aku menikmatinya...

Tetapi jika kemudian tautan hati merasa harus disudahi karena salah satu pihak tidak bisa menikmati emosi, apa yang bisa terjadi?

Pilihan untuk memulai dihasilkan dari penjumlahan atas dua
Pilihan mengakhiri pun harusnya dihasilkan oleh penjumlahan atas dua

Hanya itu logika angka yang bisa aku buat atas hatiku saat ini

Monday, July 11, 2011

Ibu....

Minggu, 09.18 WITA
Handphoneku berbunyi, sms, ada pesan dari Ibu dalam bahasa jawa, aku baca

"Aku wingi nang wisata kuliner, aduh uenak uenak, sing antri puooll. Aku tuku panganan sehat lontong balap, bareng ketog kerang aku maen, trus Dian tuku rujak petis tak maem pisan. Saiki aku loro, motoku aboh, hipersesitifku kambuh. Gpp wis kadung"

Kurang lebih begini artinya dalam bahasa Indonesia

"Kemarin aku pergi ke wisata kuliner, aduh enak enak, yang antri banyak. Aku beli makanan sehat: lontong balap. Kemudian aku lihat ada kerang, aku makan. Trus Dian (kakakku) beli rujak petis, aku ikut makan juga. Sekarang aku sakit, mataku bengkak, hypersensitifku kambuh. Gpp, sudah terlanjur"

Pagi di kantor aku baca dan aku langsung tersenyum dan membayangkan Ibu yang seperti kembali menjadi anak anak, lengkap dengan sisi impulsifnya. Bayangan senyum berubah menjadi sedih ketika ingatan terlempar ke setahun yang lalu ketika Ibu divonis dengan penyakit Diabetes Melitus yang sudah masuk ke stadium harus suntik insulin seumur hidupnya.

Masih lekat di ingatan melihat Ibu yang awalnya menangis ketika tau bahwa dia mengidap Diabetes Melitus, yang membuatnya kehilangan 7 kilo dalam 2 minggu karena terkikis perasaannya.
Masih lekat di ingatan melihat Ibu sambil gemetar melakukan suntikan insulin pada badannya sendiri.
Masih lekat di ingatan dengan pelukannya ketika aku sampai di rumah setelah perantauan yang kemudian diikuti dengan sebuah senyuman

Ibuku sakit, dan bertambah sakit karena hatinya impulsif melihat makanan. Aku menyalahkan? Iya pada awalnya. Iya lebih karena hanya rasa menyalahkan yang aku punya untuk menjaga ibuku agar kualitas hidupnya terpelihara

Sekarang aku tidak lagi menyalahkan. Ibuku hanya figur orang tua yang terkikis perasaannya karena asam garam kehidupan yang mulai berbalik melawan dirinya. Menggerogoti badannya dengan penyakit.
Aku sekarang hanya mendampingi, mengingatkan tanpa menyalahkan

Bahkan ketika aku datang pada cutiku yang terakhir, tidak satupun Ibuku mengeluh karena sakit. Bibirnya hanya mengucap tanya mengenai kabar anaknya. Telinganya hanya ingin mendengar buah kisah perantauan anaknya.

Ibu....

Sunday, May 29, 2011

Banjarmasin-Surabaya-Jakarta-Banjarmasin

Tanggal 22 Mei aku melakukan pembelian tiket PP dengan tujuan Banjarmasin-Jakarta-Banjarmasin

Penerbangan untuk mengejar sosok....
Penerbangan yang sama sekali tidak diikuti dengan kebutuhan medis atas obat dan kesembuhan....
Penerbangan yang berujung pada pertemuan...

Hanya di satu hari itu aku akan melakukan kunjungan hati untuk memperpendek jarak fisik

Sabtu malam aku akan terbang pukul 19.30 WITA dan terbang kembali keesokan harinya pukul 12.00 WIB.

Jarak memiliki cara yang aneh untuk memisahkan dan mengintervensi sebuah pertemuan, salah satunya dengan ide untuk mengubah kebutuhan atas rantai suara di handphone ke dalam kualitas bentuk yang lebih visual

Ide itu tampak sempurna sampai kemudian di hari pelaksanaan aku mengalami keterlambatan yang menyebabkan hangusnya tiketku.

Tiket hangus setelah aku menempuh 2,5 jam perjalanan dari hutan ke kota
Tiket hangus seiring dengan lenyapnya bayangan kesenangan bertemu dengannya
Tiket hangus dan aku hanya bisa mengumpat....

Tapi, kemudian jarak mengintervensi lebih dalam ke sisi emosiku. Dengan kondisi tidak ada lagi penerbangan menuju Jakarta dari Banjarmasin malam itu, aku membeli tiket lagi untuk penerbangan Banjarmasin-Surabaya kemudian Surabaya-Jakarta.

Samsodin Noor menuju ke Juanda yang kemudian menuju Soekarno Hatta.
Dari titik barat di Cengkareng menuju ke timurnya Ibukota.
Dari intervensi sebuah jarak ke hitungan jam sebuah kedekatan.
Dari jam 12 malam ke jam 12 siang yang memang tidak menggenapkan pertemuan.

Sekarang, 2 hari setelah pertemuan, aku mengingat untuk kemudian tersenyum bahwa aku masih merindukan sosok itu...

Saturday, May 14, 2011

Dokter dan Obat

Aku sedang bersahabat dengan obat.
Bukan, bukan narkoba atau sejenisnya, tapi obat yang dimaksudkan untuk menyembuhkan...

Dengan obat aku merasa memiliki kedekatan yang stabil. Aku mempunyai jadwal yang sudah terkotak di kebiasaan seorang pesakit..

Dengan obat aku merasa memiliki kewajiban intimidatif untuk sembuh


Aku sedang dekat dengan dokter.
Bukan, bukan karena aku sakit atau butuh sebuah rekomendasi penyembuhan darinya. Tapi aku dekat tanpa embel-embel kompetensi medis...

Dengan dokter aku memiliki kedekatan dengan sisi yang berbeda

Dia ada tapi tidak terjadwal karena jelas dia lebih banyak untuk pasiennya.

Dengan dokter aku merasa sedikit terintimidasi untuk melakukan kunjungan meskipun dalam porsi suara.

Dengan dokter aku merasa menjadi lebih muda dalam porsi yang manja

Dengan dokter aku menyukai banyak interupsi kecil di dalam banyak kepenatan kerja

Dengan dokter aku berani menulis sebuah jejak kehilangan atas sosok dan suara

Dokter dan obat, dua hal yang secara frekuentif banyak berputar di kepalaku akhir akhir ini...

Sunday, April 24, 2011

Me Got Punched!

Aku type orang yang tidak berkelahi dan memilih menyelesaikan permasalahan dengan verbalisasi. Ketika sebuah masalah bisa ditampilkan secara verbal, kenapa mengerucutkannya menjadi sebuah adu fisik? Itu adalah proses cerna otakku terhadap masalah.

Aku melihat bahwa sebuah adu fisik tidak memberikan input apapun, beda dengan diskusi yang dimungkinkan ada problem solving disitu.

Tapi kembali lagi, tidak semua orang mempunyai proses cerna yang sama, dan itu tidak salah....

Kejadian ini terjadi tepatnya seminggu yang lalu.
Masih lekat di ingatan lebih karena ini pertama kalinya aku ditonjok, itupun oleh teman sendiri yang entah kenapa tidak meninggalkan jejak ketersinggungan.


A friend that I always considered wouldn't do such physical act....


Jika ditelisik lebih jauh, memang kesalahan akan berputar di pihakku. Aku pun membenarkan dengan melihat bahwa emosi dan logika berpikirku sedang tidak stabil dan bergeser secara normatif pada saat itu.

Pergeseran yang kemudian melahirkan pertentangan fisik...

Aku yakin sebenarnya tidak cuma satu atau dua orang yang tidak menyukai sikapku saat itu, tapi toh aku tidak pernah mencoba untuk peduli atas opini orang lain.
Aku merasa mempunyai hak untuk menjadi diri sendiri dengan bentuk yang aku sepakati sendiri.

The privilege of a lifetime is being who you are rite?

Jika kemudian aku menuliskan ini adalah karena aku suka melakukan rekam jejak yang berujung pada kontemplasi.

Kontemplasi sederhana mengenai teman yang telah menguasakan tangannya sendiri untuk memukul kepalaku.

Thanks for punched me in the head friend....

Jangan khawatir, memaksakan kedekatan fisik antara kepalan tanganmu dan kepalaku tidak akan merubah kekagumanku soal isi kepalamu

Isi kepala yang sempat membuatku merasa kecil dan tidak berani bersaing atas dasar logika dan pengalaman...
Isi kepala yang sudah disepakati bersama bahwa itu menjadikanmu berkualitas...
Isi kepala yang semakin sering memunculkan lelucon mesum tingkat lanjut...

Sunday, January 23, 2011

Empty Feeling............

Aku menulis ini hanya karena ada kegelisahan yang harus aku deskripsikan...

Sebenernya aku masih berusaha menjelaskan apakah ini bentuk kekosongan hati yang berakibat pada kegelisahan atau apa......

Pada beberapa kondisi, dimana aku berada di di tengah hiruk pikuk pertemanan, entah kenapa aku merasa bosan, dan ingin menghilang

Pada akhirnya aku banyak memilih untuk beraktivitas sendirian, namun yang terjadi aku menjadi gamang tanpa panduan.

Pekerjaan memang membuatku lupa.....
Dengan kesibukan 15 jam sehari untuk bekerja, aku dibebaskan untuk tidak berpikir mengenai kegelisahan.....

Tetapi yah....itu hanya lupa!

Mungkin aku lari dengan kesibukan. Aku menghindari kontemplasi karena sebenernya jawaban sudah aku sadari tapi aku mengacuhkan

Orang sekitar bilang aku menjadi semakin pemarah, gampang tersinggung.
Aku bilang iya.....dan kesadaranku bilang itu hanya untuk mensubtitusi kegelisahan ke dalam bentuk yang negatif.

Tapi selain itu, aku ingin dianggap ada....aku ingin hadir dalam benak setiap orang meskipun dalam kesan yang negatif

Aku ingin menjadi hitam diantara yang putih...

Aku juga menjadi sering menertawakan masalah, atau menjadi terlalu sedih untuk sebuah pujian.

Aku merasa kosong dan rasa itu mengendap dengan perlahan untuk menjadi besar.

Aku jarang sholat,
Aku memang mengakui sholat sebagai tiang agama.....tapi benarkan agama bisa menaungi perilakuku saat ini?

Aku memang rindu pada Tuhan, dan menjadi semakin gelisah ketika aku berjalan menjauh dari-Nya

Wednesday, January 5, 2011

Maafkan......

Maafkan aku karena tidak bisa menjadi sempurna......

Aku berlagak sombong karena ingin tampak layak di depanmu
Aku berlagak memberi karena ingin tampak pantas di depanmu
Aku berlagak bijak karena ingin memberi kesan di depanmu
Aku berlagak pahlawan karena ingin tampak dapat diandalkan

Aku memang mendapatkan pujian darimu, tapi itu malah membuka kesadaran betapa tidak sempurnanya aku.

Mungkin kamu sudah lelah dengan statement ketidaksempurnaan yang aku dengungkan berulang-ulang. Aku paham kelelahanmu dan akupun berusaha tidak membahas itu. Namun atas nama ego aku menjadi ingat dan kembali berkutat soal itu. Aku takut kehilangan kamu.


Jika kemudian aku melihat dirimu,

Aku kagum pada isi kepalamu
Aku kagum pada caramu meletakkan logika diatas perasaanmu
Aku kagum pada ketegasan di dalam suaramu
Aku kagum pada caramu memperlakukanku

Semua menunjukkan betapa sempurnanya dirimu dan tidak ada keraguan tentang itu.

Maafkan aku karena menyayangimu dalam ketidaksempurnaan....