Ah, mereka sedang menutupi kebahagiaan ternyata
Sunday, November 3, 2013
Cerita Sahabat ...
Ah, mereka sedang menutupi kebahagiaan ternyata
Saturday, September 14, 2013
Gw bisa masak donk!
Rendang Padang ala gw |
Dendeng Lambok Padang ala gw |
Monday, August 20, 2012
Melodrama Rasa
Saya memilih untuk mengambil jarak dan nafas sejenak dalam ruang yang dewasa
Dewasa yang tidak mudah menyerah
Dewasa yang menyimpan harapan
Dewasa sebagai hasil ajar dan pengalaman
Itu mengapa jangan mengartikan saya menyerah ...
InsyaAllah hubungan dua manusia ini akan sampai pada masa dimana endingnya dapat kami amini bersama
Ini adalah harapan melalui rangkaian kata membentuk cerita, sebuah melodrama ... belum menjadi rasa yang nyata
Sunday, October 30, 2011
Bell's Palsy
Air shower langsung aku arahkan ke wajah, dingin seperti biasa tapi entah kenapa seketika meninggalkan jejak mati rasa pada muka. Aku percepat mandiku sambil berpikir bahwa mukaku sedang kram.
Sampai dengan siang, sisi muka sebelah kanan semakin mati rasa, dan aku semakin kesulitan berbicara. Kepala berdenyut dengan rasa yang semakin tidak bersahabat.
Beranjak siang, akhirnya aku menemukan dokter di Instalasi Gawat Darurat Banjarbaru. Bell's Palsy kemudian dilontarkan sebagai diagnosa atas kondisiku.
Aku tidak paham dengan diagnosa itu. Pertama, karena untuk bertanya saja mulutku susah digerakkan. Kedua, karena denyut kepalaku sudah tidak berkompromi dengan situasi tanya jawab.
Jadwal hari Jum'at adalah perjalanan untuk menghadiri workshop dengan lokasi 4 jam dari lokasi kerjaku. Perjalanan berlanjut dengan aku mencoba untuk tidur dan beristirahat dari ketegangan di sekujur kepala sampai leherku yang berujung sia sia.
Sabtu pagi, kelumpuhan syaraf muka dan ketegangan kepala semakin menjadi. Aku diantara bimbang untuk menghadiri pertemuan dengan ketidaksiapanku untuk berbicara ataupun menunjukkan mukaku yang kehilangan simetrinya. Akhirnya dengan keterbatasan gerak pada mulut, aku paksakan menelepon atasanku untuk meminta ijin melakukan perjalanan dari Banjar ke Malang hari itu juga dengan alasan kesehatan dan pengobatan.
Dan hari ini satu minggu sudah aku berada di Malang dengan kelumpuhan syaraf muka dan ketegangan yang sama di kepala. Aku sudah menemui 2 orang spesialis syaraf dan menempuh rangkaian terapi akupuntur dan laser, namun belum menunjukkan kemajuan yang baik.
Semua orang paham, menjadi sakit tidak pernah menyenangkan. Menjadi sakit menghilangkan banyak kebebasan. Menjadi sakit memanusiakan kesombongan.
Cepat sembuh ya BaS!
Friday, October 7, 2011
Perpisahan...
Aku pernah menulis bahwa aku menikmati setiap fase hubungan dengan emosi yang bervariasi. Tapi sekarang tidak.
Aku memutuskan untuk berhenti mengusahakan sebuah hubungan.
Aku berhenti dan menelan ludahku sendiri...
Aku mundur menjadi laki laki yang bertanggung jawab atas pilihannya sendiri...
Aku menyerah tanpa keinginan untuk memperbaiki...
Aku menangis untuk sebuah perpisahan dan aku tidak menyukainya. Dadaku sesak menahan sedih. Badanku gemetar menghentikan amarah. Aku mencoba paham, tapi waktu belum memberi jawaban
Aku mendengar bahwa perbedaan itu baik untuk menyatukan, tapi aku menyadari bahwa perbedaan yang bertolak belakang hanya berharap mimpi untuk bisa beriringan.
Aku merasa kita tidak lagi saling mengenal.
Aku lelah dengan argumentasi di setiap pertemuan. Aku kering dengan bosan yang makin berkembang. Sekarang aku paham bahwa logikaku terlalu sederhana untuk menjadi pungguk yang merindukan bulan
Aku merasa makin sendiri, tapi itu pilihan...
Aku merasa gamang pada tujuan, tapi aku yakin ini proses yang berujung baik
Pada Tuhan aku berharap maaf dan aku berharap ikhlas...
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT
Wednesday, August 17, 2011
Ibu Sakit....
Sudah satu minggu sejak telepon terakhirku untuk menanyakan kabarnya....
Memang malam ini ketika aku meneleponnya, tidak terdengar suara gundah ato gelisah. Hanya suara intens menanyakan kabarku saja.
Padahal setelah jawaban terurai untuk kemudian berganti pertanyaan dariku. Ceritapun meluncur mengenai sakit yang dideritanya.
Sakit yang harusnya sudah membaik kembali menggerogoti karena beban pikiran yang tidak kunjung berkurang
Aku terdiam untuk kemudian menggerutu sendiri
Aku tidak menyukai beban yang bertumpuk dan makin menjadi di makin bertambahnya usia ibuku...
Aku tidak menyukai intervensi atas kebebasan waktu di masa pensiunnya...
Aku tidak menyukai banyaknya variasi emosi yang muncul dan memotong habis semangatnya...
Kenapa di saat Ibuku harus memusatkan perhatian pada rasa syukur atas usianya, masalah silih berganti menginterupsi?
Aku kembali hanya bisa mendengarkan untuk kemudian berdebat dengan pikiranku sendiri...
Apa aku harus pulang? Memberikan sesosok perhatian dalam akumulasi figur seorang anak?
Mengobati mungkin
Tetapi tidak juga akan menyelesaikan apapun aku pikir
Anak juga pasti akan pergi menuju kehidupan pribadinya....
Apa hakku untuk kemudian berkomentar ketika aku tidak lagi memberikan kedekatan fisik?
Aku tidak tahu....
Aku hanya tahu bahwa aku punya hak untuk menyayangi tanpa memaksakan intervensi
Pertanyaan terus bergulir dan mendebat isi kepalaku
Tapi saat ini aku hanya bisa mengajukan do'a untuk kesembuhan, karena Tuhan Maha Mengetahui apa yang terbaik untuk Ibuku
Ibu....
Aku pasti pulang, tapi tidak sekarang
Omong Kosong Soal Hati
Dulu aku pikir hati bisa dirumuskan seperti formula matematika; dijumlahkan, dikali, bahkan dikuadratkan untuk memperbesar angka
Tetapi itu dulu,
Ketika pertama kalinya aku mendapat nilai tiga untuk hatiku....
Semakin mengalir sebuah hubungan, ternyata ada banyak variable yang tidak bisa dikonversi ke dalam angka
Yang jelas, aku kesulitan mengkuantifikasi emosi di hubunganku saat ini
Aku memang tidak lagi tiga,
Aku mungkin terpuruk di angka dua, padahal aku merasa telah menambahkan kuadrat di dalam usaha
Aku mungkin sepuluh,
Karena aku dianggap menyakiti dengan tonase yang lebih tinggi
Saat ini,
Hubungan jarak jauh itu BISA JADI tidak menyehatkan....
BISA JADI itu adalah probabilitas, tapi aku tidak bisa mengerucutkannya menjadi angka untuk sebuah hubungan
Tapi jika dikembalikan ke pilihan, aku adalah salah satu pihak yang sudah memilih untuk melakukan komitmen jarak jauh.
Aku menikmati setiap fase yang terjadi dengan emosi yang bervariasi
Lelah dengan argumentasi
Bosan dengan rasa
Teduh dengan perhatian
Nyaman dengan percakapan
Takut atas kehilangan
Sekali lagi aku merasa aku menikmatinya...
Tetapi jika kemudian tautan hati merasa harus disudahi karena salah satu pihak tidak bisa menikmati emosi, apa yang bisa terjadi?
Pilihan untuk memulai dihasilkan dari penjumlahan atas dua
Pilihan mengakhiri pun harusnya dihasilkan oleh penjumlahan atas dua
Hanya itu logika angka yang bisa aku buat atas hatiku saat ini