Dulu aku menganggap hitungan sains itu bisa mengkuantifikasi hati
Dulu aku pikir hati bisa dirumuskan seperti formula matematika; dijumlahkan, dikali, bahkan dikuadratkan untuk memperbesar angka
Tetapi itu dulu,
Ketika pertama kalinya aku mendapat nilai tiga untuk hatiku....
Semakin mengalir sebuah hubungan, ternyata ada banyak variable yang tidak bisa dikonversi ke dalam angka
Yang jelas, aku kesulitan mengkuantifikasi emosi di hubunganku saat ini
Aku memang tidak lagi tiga,
Aku mungkin terpuruk di angka dua, padahal aku merasa telah menambahkan kuadrat di dalam usaha
Aku mungkin sepuluh,
Karena aku dianggap menyakiti dengan tonase yang lebih tinggi
Saat ini,
Hubungan jarak jauh itu BISA JADI tidak menyehatkan....
BISA JADI itu adalah probabilitas, tapi aku tidak bisa mengerucutkannya menjadi angka untuk sebuah hubungan
Tapi jika dikembalikan ke pilihan, aku adalah salah satu pihak yang sudah memilih untuk melakukan komitmen jarak jauh.
Aku menikmati setiap fase yang terjadi dengan emosi yang bervariasi
Lelah dengan argumentasi
Bosan dengan rasa
Teduh dengan perhatian
Nyaman dengan percakapan
Takut atas kehilangan
Sekali lagi aku merasa aku menikmatinya...
Tetapi jika kemudian tautan hati merasa harus disudahi karena salah satu pihak tidak bisa menikmati emosi, apa yang bisa terjadi?
Pilihan untuk memulai dihasilkan dari penjumlahan atas dua
Pilihan mengakhiri pun harusnya dihasilkan oleh penjumlahan atas dua
Hanya itu logika angka yang bisa aku buat atas hatiku saat ini
Wednesday, August 17, 2011
Monday, July 11, 2011
Ibu....
Minggu, 09.18 WITA
Handphoneku berbunyi, sms, ada pesan dari Ibu dalam bahasa jawa, aku baca
"Aku wingi nang wisata kuliner, aduh uenak uenak, sing antri puooll. Aku tuku panganan sehat lontong balap, bareng ketog kerang aku maen, trus Dian tuku rujak petis tak maem pisan. Saiki aku loro, motoku aboh, hipersesitifku kambuh. Gpp wis kadung"
Kurang lebih begini artinya dalam bahasa Indonesia
"Kemarin aku pergi ke wisata kuliner, aduh enak enak, yang antri banyak. Aku beli makanan sehat: lontong balap. Kemudian aku lihat ada kerang, aku makan. Trus Dian (kakakku) beli rujak petis, aku ikut makan juga. Sekarang aku sakit, mataku bengkak, hypersensitifku kambuh. Gpp, sudah terlanjur"
Pagi di kantor aku baca dan aku langsung tersenyum dan membayangkan Ibu yang seperti kembali menjadi anak anak, lengkap dengan sisi impulsifnya. Bayangan senyum berubah menjadi sedih ketika ingatan terlempar ke setahun yang lalu ketika Ibu divonis dengan penyakit Diabetes Melitus yang sudah masuk ke stadium harus suntik insulin seumur hidupnya.
Masih lekat di ingatan melihat Ibu yang awalnya menangis ketika tau bahwa dia mengidap Diabetes Melitus, yang membuatnya kehilangan 7 kilo dalam 2 minggu karena terkikis perasaannya.
Masih lekat di ingatan melihat Ibu sambil gemetar melakukan suntikan insulin pada badannya sendiri.
Masih lekat di ingatan dengan pelukannya ketika aku sampai di rumah setelah perantauan yang kemudian diikuti dengan sebuah senyuman
Ibuku sakit, dan bertambah sakit karena hatinya impulsif melihat makanan. Aku menyalahkan? Iya pada awalnya. Iya lebih karena hanya rasa menyalahkan yang aku punya untuk menjaga ibuku agar kualitas hidupnya terpelihara
Sekarang aku tidak lagi menyalahkan. Ibuku hanya figur orang tua yang terkikis perasaannya karena asam garam kehidupan yang mulai berbalik melawan dirinya. Menggerogoti badannya dengan penyakit.
Aku sekarang hanya mendampingi, mengingatkan tanpa menyalahkan
Bahkan ketika aku datang pada cutiku yang terakhir, tidak satupun Ibuku mengeluh karena sakit. Bibirnya hanya mengucap tanya mengenai kabar anaknya. Telinganya hanya ingin mendengar buah kisah perantauan anaknya.
Ibu....
Handphoneku berbunyi, sms, ada pesan dari Ibu dalam bahasa jawa, aku baca
"Aku wingi nang wisata kuliner, aduh uenak uenak, sing antri puooll. Aku tuku panganan sehat lontong balap, bareng ketog kerang aku maen, trus Dian tuku rujak petis tak maem pisan. Saiki aku loro, motoku aboh, hipersesitifku kambuh. Gpp wis kadung"
Kurang lebih begini artinya dalam bahasa Indonesia
"Kemarin aku pergi ke wisata kuliner, aduh enak enak, yang antri banyak. Aku beli makanan sehat: lontong balap. Kemudian aku lihat ada kerang, aku makan. Trus Dian (kakakku) beli rujak petis, aku ikut makan juga. Sekarang aku sakit, mataku bengkak, hypersensitifku kambuh. Gpp, sudah terlanjur"
Pagi di kantor aku baca dan aku langsung tersenyum dan membayangkan Ibu yang seperti kembali menjadi anak anak, lengkap dengan sisi impulsifnya. Bayangan senyum berubah menjadi sedih ketika ingatan terlempar ke setahun yang lalu ketika Ibu divonis dengan penyakit Diabetes Melitus yang sudah masuk ke stadium harus suntik insulin seumur hidupnya.
Masih lekat di ingatan melihat Ibu yang awalnya menangis ketika tau bahwa dia mengidap Diabetes Melitus, yang membuatnya kehilangan 7 kilo dalam 2 minggu karena terkikis perasaannya.
Masih lekat di ingatan melihat Ibu sambil gemetar melakukan suntikan insulin pada badannya sendiri.
Masih lekat di ingatan dengan pelukannya ketika aku sampai di rumah setelah perantauan yang kemudian diikuti dengan sebuah senyuman
Ibuku sakit, dan bertambah sakit karena hatinya impulsif melihat makanan. Aku menyalahkan? Iya pada awalnya. Iya lebih karena hanya rasa menyalahkan yang aku punya untuk menjaga ibuku agar kualitas hidupnya terpelihara
Sekarang aku tidak lagi menyalahkan. Ibuku hanya figur orang tua yang terkikis perasaannya karena asam garam kehidupan yang mulai berbalik melawan dirinya. Menggerogoti badannya dengan penyakit.
Aku sekarang hanya mendampingi, mengingatkan tanpa menyalahkan
Bahkan ketika aku datang pada cutiku yang terakhir, tidak satupun Ibuku mengeluh karena sakit. Bibirnya hanya mengucap tanya mengenai kabar anaknya. Telinganya hanya ingin mendengar buah kisah perantauan anaknya.
Ibu....
Sunday, May 29, 2011
Banjarmasin-Surabaya-Jakarta-Banjarmasin
Tanggal 22 Mei aku melakukan pembelian tiket PP dengan tujuan Banjarmasin-Jakarta-Banjarmasin
Penerbangan untuk mengejar sosok....
Penerbangan yang sama sekali tidak diikuti dengan kebutuhan medis atas obat dan kesembuhan....
Penerbangan yang berujung pada pertemuan...
Hanya di satu hari itu aku akan melakukan kunjungan hati untuk memperpendek jarak fisik
Sabtu malam aku akan terbang pukul 19.30 WITA dan terbang kembali keesokan harinya pukul 12.00 WIB.
Jarak memiliki cara yang aneh untuk memisahkan dan mengintervensi sebuah pertemuan, salah satunya dengan ide untuk mengubah kebutuhan atas rantai suara di handphone ke dalam kualitas bentuk yang lebih visual
Ide itu tampak sempurna sampai kemudian di hari pelaksanaan aku mengalami keterlambatan yang menyebabkan hangusnya tiketku.
Tiket hangus setelah aku menempuh 2,5 jam perjalanan dari hutan ke kota
Tiket hangus seiring dengan lenyapnya bayangan kesenangan bertemu dengannya
Tiket hangus dan aku hanya bisa mengumpat....
Tapi, kemudian jarak mengintervensi lebih dalam ke sisi emosiku. Dengan kondisi tidak ada lagi penerbangan menuju Jakarta dari Banjarmasin malam itu, aku membeli tiket lagi untuk penerbangan Banjarmasin-Surabaya kemudian Surabaya-Jakarta.
Samsodin Noor menuju ke Juanda yang kemudian menuju Soekarno Hatta.
Dari titik barat di Cengkareng menuju ke timurnya Ibukota.
Dari intervensi sebuah jarak ke hitungan jam sebuah kedekatan.
Dari jam 12 malam ke jam 12 siang yang memang tidak menggenapkan pertemuan.
Sekarang, 2 hari setelah pertemuan, aku mengingat untuk kemudian tersenyum bahwa aku masih merindukan sosok itu...
Penerbangan untuk mengejar sosok....
Penerbangan yang sama sekali tidak diikuti dengan kebutuhan medis atas obat dan kesembuhan....
Penerbangan yang berujung pada pertemuan...
Hanya di satu hari itu aku akan melakukan kunjungan hati untuk memperpendek jarak fisik
Sabtu malam aku akan terbang pukul 19.30 WITA dan terbang kembali keesokan harinya pukul 12.00 WIB.
Jarak memiliki cara yang aneh untuk memisahkan dan mengintervensi sebuah pertemuan, salah satunya dengan ide untuk mengubah kebutuhan atas rantai suara di handphone ke dalam kualitas bentuk yang lebih visual
Ide itu tampak sempurna sampai kemudian di hari pelaksanaan aku mengalami keterlambatan yang menyebabkan hangusnya tiketku.
Tiket hangus setelah aku menempuh 2,5 jam perjalanan dari hutan ke kota
Tiket hangus seiring dengan lenyapnya bayangan kesenangan bertemu dengannya
Tiket hangus dan aku hanya bisa mengumpat....
Tapi, kemudian jarak mengintervensi lebih dalam ke sisi emosiku. Dengan kondisi tidak ada lagi penerbangan menuju Jakarta dari Banjarmasin malam itu, aku membeli tiket lagi untuk penerbangan Banjarmasin-Surabaya kemudian Surabaya-Jakarta.
Samsodin Noor menuju ke Juanda yang kemudian menuju Soekarno Hatta.
Dari titik barat di Cengkareng menuju ke timurnya Ibukota.
Dari intervensi sebuah jarak ke hitungan jam sebuah kedekatan.
Dari jam 12 malam ke jam 12 siang yang memang tidak menggenapkan pertemuan.
Sekarang, 2 hari setelah pertemuan, aku mengingat untuk kemudian tersenyum bahwa aku masih merindukan sosok itu...
Saturday, May 14, 2011
Dokter dan Obat
Aku sedang bersahabat dengan obat.
Bukan, bukan narkoba atau sejenisnya, tapi obat yang dimaksudkan untuk menyembuhkan...
Dengan obat aku merasa memiliki kedekatan yang stabil. Aku mempunyai jadwal yang sudah terkotak di kebiasaan seorang pesakit..
Dengan obat aku merasa memiliki kewajiban intimidatif untuk sembuh
Aku sedang dekat dengan dokter.
Bukan, bukan karena aku sakit atau butuh sebuah rekomendasi penyembuhan darinya. Tapi aku dekat tanpa embel-embel kompetensi medis...
Dengan dokter aku memiliki kedekatan dengan sisi yang berbeda
Dia ada tapi tidak terjadwal karena jelas dia lebih banyak untuk pasiennya.
Dengan dokter aku merasa sedikit terintimidasi untuk melakukan kunjungan meskipun dalam porsi suara.
Dengan dokter aku merasa menjadi lebih muda dalam porsi yang manja
Dengan dokter aku menyukai banyak interupsi kecil di dalam banyak kepenatan kerja
Dengan dokter aku berani menulis sebuah jejak kehilangan atas sosok dan suara
Dokter dan obat, dua hal yang secara frekuentif banyak berputar di kepalaku akhir akhir ini...
Bukan, bukan narkoba atau sejenisnya, tapi obat yang dimaksudkan untuk menyembuhkan...
Dengan obat aku merasa memiliki kedekatan yang stabil. Aku mempunyai jadwal yang sudah terkotak di kebiasaan seorang pesakit..
Dengan obat aku merasa memiliki kewajiban intimidatif untuk sembuh
Aku sedang dekat dengan dokter.
Bukan, bukan karena aku sakit atau butuh sebuah rekomendasi penyembuhan darinya. Tapi aku dekat tanpa embel-embel kompetensi medis...
Dengan dokter aku memiliki kedekatan dengan sisi yang berbeda
Dia ada tapi tidak terjadwal karena jelas dia lebih banyak untuk pasiennya.
Dengan dokter aku merasa sedikit terintimidasi untuk melakukan kunjungan meskipun dalam porsi suara.
Dengan dokter aku merasa menjadi lebih muda dalam porsi yang manja
Dengan dokter aku menyukai banyak interupsi kecil di dalam banyak kepenatan kerja
Dengan dokter aku berani menulis sebuah jejak kehilangan atas sosok dan suara
Dokter dan obat, dua hal yang secara frekuentif banyak berputar di kepalaku akhir akhir ini...
Sunday, April 24, 2011
Me Got Punched!
Aku type orang yang tidak berkelahi dan memilih menyelesaikan permasalahan dengan verbalisasi. Ketika sebuah masalah bisa ditampilkan secara verbal, kenapa mengerucutkannya menjadi sebuah adu fisik? Itu adalah proses cerna otakku terhadap masalah.
Aku melihat bahwa sebuah adu fisik tidak memberikan input apapun, beda dengan diskusi yang dimungkinkan ada problem solving disitu.
Tapi kembali lagi, tidak semua orang mempunyai proses cerna yang sama, dan itu tidak salah....
Kejadian ini terjadi tepatnya seminggu yang lalu.
Masih lekat di ingatan lebih karena ini pertama kalinya aku ditonjok, itupun oleh teman sendiri yang entah kenapa tidak meninggalkan jejak ketersinggungan.
A friend that I always considered wouldn't do such physical act....
Jika ditelisik lebih jauh, memang kesalahan akan berputar di pihakku. Aku pun membenarkan dengan melihat bahwa emosi dan logika berpikirku sedang tidak stabil dan bergeser secara normatif pada saat itu.
Pergeseran yang kemudian melahirkan pertentangan fisik...
Aku yakin sebenarnya tidak cuma satu atau dua orang yang tidak menyukai sikapku saat itu, tapi toh aku tidak pernah mencoba untuk peduli atas opini orang lain.
Aku merasa mempunyai hak untuk menjadi diri sendiri dengan bentuk yang aku sepakati sendiri.
The privilege of a lifetime is being who you are rite?
Jika kemudian aku menuliskan ini adalah karena aku suka melakukan rekam jejak yang berujung pada kontemplasi.
Kontemplasi sederhana mengenai teman yang telah menguasakan tangannya sendiri untuk memukul kepalaku.
Thanks for punched me in the head friend....
Jangan khawatir, memaksakan kedekatan fisik antara kepalan tanganmu dan kepalaku tidak akan merubah kekagumanku soal isi kepalamu
Isi kepala yang sempat membuatku merasa kecil dan tidak berani bersaing atas dasar logika dan pengalaman...
Isi kepala yang sudah disepakati bersama bahwa itu menjadikanmu berkualitas...
Isi kepala yang semakin sering memunculkan lelucon mesum tingkat lanjut...
Aku melihat bahwa sebuah adu fisik tidak memberikan input apapun, beda dengan diskusi yang dimungkinkan ada problem solving disitu.
Tapi kembali lagi, tidak semua orang mempunyai proses cerna yang sama, dan itu tidak salah....
Kejadian ini terjadi tepatnya seminggu yang lalu.
Masih lekat di ingatan lebih karena ini pertama kalinya aku ditonjok, itupun oleh teman sendiri yang entah kenapa tidak meninggalkan jejak ketersinggungan.
A friend that I always considered wouldn't do such physical act....
Jika ditelisik lebih jauh, memang kesalahan akan berputar di pihakku. Aku pun membenarkan dengan melihat bahwa emosi dan logika berpikirku sedang tidak stabil dan bergeser secara normatif pada saat itu.
Pergeseran yang kemudian melahirkan pertentangan fisik...
Aku yakin sebenarnya tidak cuma satu atau dua orang yang tidak menyukai sikapku saat itu, tapi toh aku tidak pernah mencoba untuk peduli atas opini orang lain.
Aku merasa mempunyai hak untuk menjadi diri sendiri dengan bentuk yang aku sepakati sendiri.
The privilege of a lifetime is being who you are rite?
Jika kemudian aku menuliskan ini adalah karena aku suka melakukan rekam jejak yang berujung pada kontemplasi.
Kontemplasi sederhana mengenai teman yang telah menguasakan tangannya sendiri untuk memukul kepalaku.
Thanks for punched me in the head friend....
Jangan khawatir, memaksakan kedekatan fisik antara kepalan tanganmu dan kepalaku tidak akan merubah kekagumanku soal isi kepalamu
Isi kepala yang sempat membuatku merasa kecil dan tidak berani bersaing atas dasar logika dan pengalaman...
Isi kepala yang sudah disepakati bersama bahwa itu menjadikanmu berkualitas...
Isi kepala yang semakin sering memunculkan lelucon mesum tingkat lanjut...
Sunday, January 23, 2011
Empty Feeling............
Aku menulis ini hanya karena ada kegelisahan yang harus aku deskripsikan...
Sebenernya aku masih berusaha menjelaskan apakah ini bentuk kekosongan hati yang berakibat pada kegelisahan atau apa......
Pada beberapa kondisi, dimana aku berada di di tengah hiruk pikuk pertemanan, entah kenapa aku merasa bosan, dan ingin menghilang
Pada akhirnya aku banyak memilih untuk beraktivitas sendirian, namun yang terjadi aku menjadi gamang tanpa panduan.
Pekerjaan memang membuatku lupa.....
Dengan kesibukan 15 jam sehari untuk bekerja, aku dibebaskan untuk tidak berpikir mengenai kegelisahan.....
Tetapi yah....itu hanya lupa!
Mungkin aku lari dengan kesibukan. Aku menghindari kontemplasi karena sebenernya jawaban sudah aku sadari tapi aku mengacuhkan
Orang sekitar bilang aku menjadi semakin pemarah, gampang tersinggung.
Aku bilang iya.....dan kesadaranku bilang itu hanya untuk mensubtitusi kegelisahan ke dalam bentuk yang negatif.
Tapi selain itu, aku ingin dianggap ada....aku ingin hadir dalam benak setiap orang meskipun dalam kesan yang negatif
Aku ingin menjadi hitam diantara yang putih...
Aku juga menjadi sering menertawakan masalah, atau menjadi terlalu sedih untuk sebuah pujian.
Aku merasa kosong dan rasa itu mengendap dengan perlahan untuk menjadi besar.
Aku jarang sholat,
Aku memang mengakui sholat sebagai tiang agama.....tapi benarkan agama bisa menaungi perilakuku saat ini?
Aku memang rindu pada Tuhan, dan menjadi semakin gelisah ketika aku berjalan menjauh dari-Nya
Sebenernya aku masih berusaha menjelaskan apakah ini bentuk kekosongan hati yang berakibat pada kegelisahan atau apa......
Pada beberapa kondisi, dimana aku berada di di tengah hiruk pikuk pertemanan, entah kenapa aku merasa bosan, dan ingin menghilang
Pada akhirnya aku banyak memilih untuk beraktivitas sendirian, namun yang terjadi aku menjadi gamang tanpa panduan.
Pekerjaan memang membuatku lupa.....
Dengan kesibukan 15 jam sehari untuk bekerja, aku dibebaskan untuk tidak berpikir mengenai kegelisahan.....
Tetapi yah....itu hanya lupa!
Mungkin aku lari dengan kesibukan. Aku menghindari kontemplasi karena sebenernya jawaban sudah aku sadari tapi aku mengacuhkan
Orang sekitar bilang aku menjadi semakin pemarah, gampang tersinggung.
Aku bilang iya.....dan kesadaranku bilang itu hanya untuk mensubtitusi kegelisahan ke dalam bentuk yang negatif.
Tapi selain itu, aku ingin dianggap ada....aku ingin hadir dalam benak setiap orang meskipun dalam kesan yang negatif
Aku ingin menjadi hitam diantara yang putih...
Aku juga menjadi sering menertawakan masalah, atau menjadi terlalu sedih untuk sebuah pujian.
Aku merasa kosong dan rasa itu mengendap dengan perlahan untuk menjadi besar.
Aku jarang sholat,
Aku memang mengakui sholat sebagai tiang agama.....tapi benarkan agama bisa menaungi perilakuku saat ini?
Aku memang rindu pada Tuhan, dan menjadi semakin gelisah ketika aku berjalan menjauh dari-Nya
Wednesday, January 5, 2011
Maafkan......
Maafkan aku karena tidak bisa menjadi sempurna......
Aku berlagak sombong karena ingin tampak layak di depanmu
Aku berlagak memberi karena ingin tampak pantas di depanmu
Aku berlagak bijak karena ingin memberi kesan di depanmu
Aku berlagak pahlawan karena ingin tampak dapat diandalkan
Aku memang mendapatkan pujian darimu, tapi itu malah membuka kesadaran betapa tidak sempurnanya aku.
Mungkin kamu sudah lelah dengan statement ketidaksempurnaan yang aku dengungkan berulang-ulang. Aku paham kelelahanmu dan akupun berusaha tidak membahas itu. Namun atas nama ego aku menjadi ingat dan kembali berkutat soal itu. Aku takut kehilangan kamu.
Jika kemudian aku melihat dirimu,
Aku kagum pada isi kepalamu
Aku kagum pada caramu meletakkan logika diatas perasaanmu
Aku kagum pada ketegasan di dalam suaramu
Aku kagum pada caramu memperlakukanku
Semua menunjukkan betapa sempurnanya dirimu dan tidak ada keraguan tentang itu.
Maafkan aku karena menyayangimu dalam ketidaksempurnaan....
Aku berlagak sombong karena ingin tampak layak di depanmu
Aku berlagak memberi karena ingin tampak pantas di depanmu
Aku berlagak bijak karena ingin memberi kesan di depanmu
Aku berlagak pahlawan karena ingin tampak dapat diandalkan
Aku memang mendapatkan pujian darimu, tapi itu malah membuka kesadaran betapa tidak sempurnanya aku.
Mungkin kamu sudah lelah dengan statement ketidaksempurnaan yang aku dengungkan berulang-ulang. Aku paham kelelahanmu dan akupun berusaha tidak membahas itu. Namun atas nama ego aku menjadi ingat dan kembali berkutat soal itu. Aku takut kehilangan kamu.
Jika kemudian aku melihat dirimu,
Aku kagum pada isi kepalamu
Aku kagum pada caramu meletakkan logika diatas perasaanmu
Aku kagum pada ketegasan di dalam suaramu
Aku kagum pada caramu memperlakukanku
Semua menunjukkan betapa sempurnanya dirimu dan tidak ada keraguan tentang itu.
Maafkan aku karena menyayangimu dalam ketidaksempurnaan....
Subscribe to:
Posts (Atom)